Bagaimana hukum memanggil haji kepada orang yang umroh? Hal tersebut pastinya sering menjadi pertanyaan sebagian Muslim, khususnya di Indonesia. Sebagaimana diketahui, haji dan umroh merupakan dua ibadah yang cukup identik. Keduanya sama-sama berkunjung ke Baitullah dan sama-sama melakukan ihram, tawaf, sa’i, dan tahalul.
Umroh biasa disebut sebagai haji kecil. Namun, umroh hukumnya sunnah dan tidak termasuk dalam rukun Islam. Sedangkan haji hukumnya wajib bagi mereka yang mampu. Penggunaan gelar Haji dan Hajah pada dasarnya berhubungan dengan kultur masyarakat itu sendiri. Karena tidak semua orang mampu berhaji, maka mereka yang telah melaksanakan ibadah tersebut biasa mendapat panggilan istimewa.
Di Indonesia, orang yang telah menunaikan ibadah haji biasa dipanggil Haji atau Hajah. Panggilan tersebut bahkan sudah seperti gelar yang prestisius di masyarakat.
Pada dasarnya, tidak ada perintah dan larangan untuk menggunakan gelar haji atau hajah bagi yang telah menunaikan ibadah haji. Secara umum, ada dua pendapat soal memberi gelar haji atau hajah kepada seorang yang sudah berhaji. Pendapat pertama, mengatakan bahwa panggilan atau penyematan gelar haji tersebut hukumnya dilarang. Pasalnya, gelar tersebut tidak dikenal di zaman Nabi dan dikhawatirkan berpotensi menimbulkan riya.
Dalam salah satu fatwanya, Lajnah Daimah pernah mengatakan bahwa panggilan Haji bagi yang sudah berhaji sebaiknya ditinggalkan. Karena melaksanakan kewajiban syariat, tidak perlu mendapatkan gelar, namun dia mendapat pahala dari Allah, bagi mereka yang amalnya diterima. Dan wajib bagi setiap muslim untuk mengkondisikan jiwanya agar tidak bergantung dengan semacam ini, agar niatnya ikhlas untuk Allah. Pendapat kedua, mengatakan bahwa gelar semacam itu dibolehkan. Hal itu salah satunya berdasarkan pendapat imam An Nawawi dalam buku al-Majmu’:
“Boleh menyebut orang yang pernah berangkat haji dengan gelar Haji, meskipun hajinya sudah bertahun-tahun, atau bahkan setelah dia wafat. Dan hal ini tidak makruh.” Terkadang masyarakat memang memberi gelar untuk mereka yang telah melakukan perjuangan berharga atau memberi manfaat besar bagi yang lain. Misalnya, orang yang pernah berjihad disebut mujahid, orang yang ikut perang badar disebut dengan al-Badri. Meskipun perang badar sudah berakhir di waktu lampau, gelar itu tetap melekat. Demikian juga penyematan gelar Haji juga sudah menjadi tradisi di sebagian masyarakat. Alasan bahwa gelar haji itu masuk urf (tradisi di masyarakat) pernah disampaikan as-Subki ketika membahas biografi Hassan bin Said al-Haji. “Gelar al-Haji ini menggunakan bahasa bukan arab, untuk mereka yang telah berangkat haji. Mereka menyabut orang yang bernah berhaji ke baitullah al-haram dengan Haji.” (Tercantum dalam kitab Thabaqat as-Syafiiyah al-Kubro)
Menukil dari laman Kemenag, menurut Syekh Ali Syibramalisi, panggilan penghormatan Haji atau Hajah dalam arti ibadah haji terhadap orang yang jelas-jelas belum melaksanakan ibadah haji diharamkan karena itu merupakan panggilan dusta. Melaksanakan umroh saja tentu tidak dapat dikatakan telah berhaji atau bisa dipanggil haji. Namun, jika panggilan Haji atau Hajah diartikan secara harfiah, yaitu orang yang menuju sebuah tujuan, hal itu tidak diharamkan karena bukan sebuah kedustaan.
“Tetapi jika panggilan ‘Pak Haji’ dimaksudkan maknanya secara harfiah, (bukan secara istilah) dan diniatkan dengan pengertian harfiah yang benar,–seperti panggilan ‘Pak Haji’ dimaksudkan ‘Pak yang hendak menuju shalat berjamaah atau lainnya’–maka tidak haram,” (Syekh Ali Syibramlisi, Hasyiyah Ali Syibramalisi ala Nihayatil Muhtaj) Maka, jelas bahwa panggilan haji kepada orang yang umroh sejatinya tidak tepat dan bisa menjadi sebuah dusta. Kecuali jika panggilan tersebut diniatkan dan dimaknai sebatas pengertian harfiah. Wallahualam bissawab
diedit dari sumbernya di: inews.id