Disadur dari konsultasisyariah.com (Ustadz Ammi Nur Baits)
Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,
Tarawih hukumnya sunah muakkad. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memotivasi untuk qiyamullail. Dalam hadis dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
Siapa yang melakukan qiyam ramadhan, karena iman dan mengharap pahala dari Allah, maka dosa-dosa yang telah lewat akan diampuni. (HR. Bukhari 37 & Muslim 1815).
Dan dianjurkan untuk dilakukan di masjid berjamaah bersama imam.
Dari Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ قَامَ مَعَ الإِمَامِ حَتَّى يَنْصَرِفَ فَإِنَّهُ يَعْدِلُ قِيَامَ لَيْلَةٍ
Siapa yang mengerjakan shalat malam (ramadhan) bersama imam sampai selesai, itu senilai dengan shalat semalam suntuk. (HR. Nasai 1388, Tumudzi 811, dan dishahihkan Syuaib al-Arnauth).
Dalil bahwasanya shalat tarawih tidak wajib adalah peristiwa shalat tarawih di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau melakukan shalat tarawih berjamaah bersama para sahabat sebanyak 3 kali: malam 23, malam 25, dan malam 27. Di malam berikutnya, para sahabat menunggu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di masjid, namun beliau tidak datang ke masjid untuk mengimami tarawih.
Hingga ketika subuh, beliau baru keluar rumah. Seusai shalat, beliau berkhutbah,
أَمَّا بَعْدُ فَإِنَّهُ لَمْ يَخْفَ عَلَىَّ شَأْنُكُمُ اللَّيْلَةَ وَلَكِنِّى خَشِيتُ أَنْ تُفْرَضَ عَلَيْكُمْ صَلاَةُ اللَّيْلِ فَتَعْجِزُوا عَنْهَا
Amma ba’du, saya bukannya tidak tahu apa yang kalian lakukan tadi malam. Namun aku khawatir, shalat malam akan diwajibkan kepada kalian, sehingga tidak sanggup untuk melakukannya. (HR. Muslim 1820, Ibnu Hibban 141 dan yang lainnya)
Selama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam masih hidup, wahyu masih turun. Beliau khawatir, ketika shalat tarawih terlalu rutin dikerjakan ketika itu, Allah akan menurunkan wahyu yang mewajibkan shalat tarawih. Sehingga akan memberatkan umatnya.
Karena itu, bagi anda yang sedang dalam kondisi udzur, baik karena sakit, safar atau yang lainnya, sehingga tidak bisa shalat tarawih berjamaah, anda dituntut untuk mengerjakannya di rumah atau memaksakan diri untuk melakukannya sendiri. Namun tetap jaga shalat witir, meskipun 1 rakaat. Yang penting, malam itu kita qiyamul-lail.
Musafir dan yang Sakit Tetap dapat Pahala
Bagi anda yang musafir, atau anda yang sakit, sehingga tidak bisa melaksanakan shalat tarawih atau shalat sunah lainnya, sementara anda memiliki kebiasaan shalat tarawih ketika sehat atau ketika tidak safar, maka anda tetap mendapatkan pahala shalat sunah yang menjadi rutinitas anda.
Dari Abu Musa al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا مَرِضَ الْعَبْدُ أَوْ سَافَرَ ، كُتِبَ لَهُ مِثْلُ مَا كَانَ يَعْمَلُ مُقِيمًا صَحِيحًا
Ketika seorang hamba itu sakit atau safar, maka dicatat pahala untuknya sesuai amalan yang dia lakukan ketika mukim (tidak safar) dan ketika sehat. (HR. Ahmad 19679 dan Bukhari 2996)
Betapa bahagianya orang yang punya rutinitas amal soleh tertentu. Dengan rutinitasnya itu, dia tetap bisa mendapatkan pahala, meskipun dia tidak beramal karena udzur.
Al-Muhallab mengatakan,
Hadis ini sesuai dengan apa yang ada dalam al-Qur’an, yaitu firman Allah,
الَّذِينَ آَمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ فَلَهُمْ أَجْرٌ غَيْرُ مَمْنُونٍ
“Orang-orang yang beriman dan beramal shaleh mereka mendapatkan pahala yang tidak pernah terputus.” (QS. At Tin:6).
Maksudnya mereka (orang-orang yang beriman), mendapatkan pahala ketika mereka sudah tua dan lemah sesuai dengan amal yang dulu pernah mereka kerjakan ketika masih sehat, tanpa terputus. Oleh karena itu, setiap sakit yang menimpa dan setiap kesulitan yang dialami ketika safar dan sebab lainnya, yang menghalangi seseorang untuk melakukan amal yang menjadi kebiasaannya, maka Allah telah memberikan kemurahannya dengan tetap memberikan pahala kepada orang yang tidak bisa melakukan amal tersebut karena kondisi yang dialaminya.” (Syarh Shahih Bukhari, Ibn Batthal, 3/146).
Allahu a’lam.